Seri Membangun Bangsa

THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center]

Seri Membangun Bangsa :

"Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya,

nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia ."

==============================================

[Spiritualism, nationalism, resources, democration & pluralism Indonesia
quotient]

Memasuki Tahun-tahun produktif, efisien dan efektif.

"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia "

IJ Kasimo, Jawa yang Mengindonesia

Oleh: ST. Sularto

Siapakah Kasimo? Kecuali diingat sambil tertunduk hormat saat menyebut
nama itu, orang spontan teringat pada sosok yang senantiasa tersenyum
lebar, berbadan kekar, biasa berpakaian Jawa tradisional lengkap,
pendiri dan Ketua Partai Katolik (1924-1960), penganut Katolik yang
religius, politisi yang tidak gegap gempita revolusioner, terjun ke
bidang politik sebagai pengabdian untuk rakyat dengan penuh pengorbanan
diri.

Siapa lagi Kasimo? Dari sekian buku yang terserak terkait dengan Kasimo,
terbaru mungkin buku Gerry van Klinken, Minoritas, Modernity and the
Emerging Nation: Christian in Indonesia , KITLV, 2003. Buku itu
diindonesiakan dengan judul 5 Pengaruh Bangsa yang Terlupa Nasionalisme
Minoritas Kristen, LkiS, terbit beberapa minggu lalu.

Gerry, yang belakangan ini dikenal sebagai salah satu indonesianis,
menemukan tesis penting yang menyebutkan keterlibatan kaum minoritas
Kristen dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia .

Selain Kasimo dan Albertus Soegijopranata SJ dari Jawa, juga Toedoeng
Soetan Goenoeng Moelia dan Amir Syarifuddin dari Sumatera, serta Ratu
Langie dari Sulawesi . Berangkat dari latar belakang yang berbeda-beda,
dengan cara masing-masing, kelimanya memiliki jasa besar dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia .

Mereka berlima menempuh cara tidak populer di kalangan nasionalis,
ditegaskan oleh Adnan Buyung Nasution sebagai kompromistis, tetapi
berjuang lewat birokrasi dan parlemen. Kasimo, Moelia, dan Ratu Langie
berjuang lewat parlemen Volksraad.

Soegiyapranata lewat institusi Gereja Katolik, dan barangkali dari
mereka berlima tergolong radikal dan terlibat langsung dengan gerakan
nasionalis popular hanya Amir Syarifuddin.

Penelitian Klinken menyentakkan kealpaan kita akan sumbangan dan darma
bakti kaum minoritas dalam perjuangan Indonesia Merdeka. Memang sejarah
kepahlawanan tidak lagi didominasi kaum militer, tetapi masih perlu
diketengahkan yang lain, di antaranya mengangkat keterlibatan
tokoh-tokoh minoritas.

Oleh karena itu, kalau Indonesia sejak awalnya adalah majemuk dalam
segala hal, apakah memang selama ini tidak ada pejuang atau pahlawan
dari kelompok Hindu dan Buddha? Dalam konteks itu, Klinken menyibak
kealpaan, bahwa sumbangan para pejuang dari semua agama dan latar
belakang dalam Indonesia Merdeka adalah sama.

Gelar pahlawan nasional

Dua seminar tentang Kasimo dengan pembicara dan peserta berbeda-beda, 8
Oktober dan 12 Oktober, awalnya dimulai dengan pertanyaan, perlukah
Kasimo memperoleh gelar pahlawan nasional? Semua panelis dan ditunjang
beberapa peserta berpendapat sama, mendukung pencalonan Kasimo sebagai
pahlawan nasional.

Menurut Bambang Purwanto, sebagai seorang menteri dan pejabat negara,
nama Kasimo menguap dari panggung catatan sejarah Indonesia seiring
dengan hilangnya kepercayaan negara terhadap pertanian sebagai sumber
kemakmuran rakyat dan hilangnya kejujuran sebagai nilai dasar dalam
hidup berbangsa dan bernegara.

Hak kepahlawanan Kasimo bukan karena kekatolikannya, tetapi karena
kemampuannya menghadirkan inspirasi kejujuran, keindonesiaan, dakeutuhan
Indonesia .

Pahlawan muncul ketika realitas masa lalu bertransformasi dengan bagian
dari sistem nilai dan budaya dalam masyarakat kekinian. Kasimo sudah
dengan sendirinya adalah pahlawan dari sumbangsih yang diberikan mulai
dari keterlibatannya di bidang politik sejak 1930-an, berbagai jabatan
menteri yang disandangnya, bahkan sesudahnya. Dalam ranah bicara ini,
ketika gelar pahlawan adalah representasi pengakuan publik, gelar-gelar
kepahlawanan perlu, termasuk di antaranya Kasimo.

Dalam urusan kenegaraan, akal manusia (rasio) yang diutamakan, bukan
semangat keagamaan. Karena itu, ujar Adnan Buyung Nasution, Kasimo
menganggap agar hak orang berganti agama dijamin. "Kalau suatu kali saya
menyakini bahwa Islam atau Buddha adalah yang benar, apakah saya tidak
berhak memeluknya," kata Kasimo, seperti dikutip oleh Buyung.

Pernyataan itu menggarisbawahi sumbangan Kasimo mendukung dimasukkannya
butir-butir hak asasi manusia (HAM) dalam rancangan konstitusi. Di
antaranya, dia menyerukan agar konstitusi secara tegas membedakan antara
kebebasan beragama dan kebebasan berserikat. Kalau keduanya dicampur
aduk, Kasimo khawatir kebebasan beragama bisa dihambat oleh dalil
ketertiban umum.

Meskipun ditabalkan sebagai Bapak Politik Umat Katolik Indonesia,
menurut Harry Tjan Silalahi, Daniel Dhakidae, dan Syafii Maarif, Kasimo
membawa partainya menjadi nasional, tidak Katolik-sentris (sectarian) –
meskipun memang partai gurem – tetapi berkat dia pada pemilu 1955 Partai
Katolik memperoleh enam kursi di parlemen, padahal jumlah umat Katolik
hanya 2,5 persen dari penduduk Indonesia.

Jakob Oetama dalam Tajuk rencana Kompas, 2 Agustus 1986, mengantar
kepergian Kasimo, menulis ".the man of character, orang yang berwatak
dengan gaya teguh pada prinsip. Luwes pada tindak-tanduk. Dengan
pendidikan formal yang hanya setingkat SLTA (sekolah pertanian di
Bogor), Kasimo berhasil mengisi seluruh usia dengan pengabdian yang
tulus mulai dari guru, pegawai perkebunan, hingga sejumlah jabatan
publik setingkat pejabat tinggi Negara yang semuanya tidak pernah
mengubah kesederhanaan, kepekaan sosial, dan kejujuran."

"Man of action"

Berkat pendidikan Barat itu, termasuk seperti yang diperoleh para
politisi pergerakan lainnya, saat menjadi pejabat negara, Kasimo menarik
garis tegas antara milikku dan milik negara. Tidak korup, meskipun
mengibarkan "bendera Katolik", dalam praksis politik ibarat apa yang di
zaman kemudian dilakukan oleh partai-partai Kristen Demokrat di Eropa
Barat dan Amerika Latin (teologi-teologi pembebasan).

Oleh karena itu, tidak lagi pengandaian, tetapi keyakinan, Farid
Prawiranegara – anak keempat Syafruddin-yakin dalam keadaan sekarang pun
Kasimo pasti tidak akan korup.

Melintas biografi politik mulai dari Perkumpulan Politik Katolik Djawa
tahun 1923, kesertaan PPKD dalam Indische Katholieke Partij, Persatuan
Politik Katolik Indonesia tahun 1925, ditunjuk jadi anggota Volksraad
tahun 1931, Partai Katolik RI tahun 1945, semasa Indonesia merdeka
hingga meninggalnya, orang menyayangkan sedikitnya warisan gagasan dan
tindakan dalam bentuk tulisan.

Kasimo memang bukan seorang man of analysis dalam arti menuliskan
gagasan dan visi politiknya. Dia seorang man of action, terjun langsung
dengan praksis politik etis, sehabis-habisnya untuk rakyat, pluralis,
pengorbanan, dan karena itu praksis politiknya bermartabat.

Mengacu pada tokoh-okoh besar Indonesia , Komaruddin Hidayat
menyayangkan kurangnya pendidikan kewargaan untuk anak bangsa penerus
negeri ini. Sampaikan secara terstruktur kelebihan dan kekuarangan
mereka, dengan perspektif tokoh-tokoh pergerakan termasuk Kasimo sebagai
bagian dari sarana belajar.

Mengutip Harry dan Asvi Warman Adam, Kasimo membawa kejawaannya menjadi
Indonesia . Jawa mengindonesia. Bukan lagi Katolik di Indonesia,
melainkan Katolik Indonesia .

Menjadi menarik, seperti dingatkan oleh Hasto Rosariyanto, bagaimana
pengaruh lingkungan dalam masa-masa forming years menjelang terjun ke
politik.

Disebut oleh Daniel Dhakiedae, perlunya menilik secara cermat
titik-titik krusial pengabdian dan perjuangan Kasimo. Ajakan ini bisa
dilihat dari hasil penelitian Klinken, bahwa selain diinspirasi Van Lith
dan Rikevorsel serta aksi sosial Katolik karya JM Llovera tentang
prinsip kebangsaan, yakni "setiap bangsa berhak membentuk sebuah negara
merdeka", juga dilandasi kesalehan religiusnya.

Kasimo bukan hanya milik keluarga, orang Jawa, atau orang Katolik,
tetapi juga milik bangsa Indonesia . Dialah satu dari lima penggerak
bangsa, menurut Gerry van Klinken, yang terlupa! [Kompas, 19 /10/2010 ]

---------

Selalu saja kita senang bila mengenang para negarawan sejati yang selalu
berorientasi dan berjuang bagi kebaikan rakyatnya. Kapankah dan masih
berapa lamakah bangsa Indonesia akan menemukan kembali para negarawan
sejati masa kini? Sebab, itu adalah warisan kepribadian dan kebahagiaan
sejati bagi generasi penerus Indonesia di masa yang akan datang.

Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat.

Best Regards,

Retno Kintoko

SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes