Ketika Indonesia jadi tumbal industri tambang

Harian Bisnis Indonesia/Senin, 17/03/2008

Ketika Indonesia jadi tumbal industri tambang

Oleh Firdaus Cahyadi

Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia

Tuhan telah menganugerahi Indonesia sebagai negeri yang sangat kaya akan sumber daya alam (SDA), baik di darat maupun di laut. Untuk itulah, tak heran bila sejak dahulu kekayaan SDA itu menjadi rebutan negara lain. Beberapa negara pun tercatat pernah menjajah negeri ini, bahkan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaannya, negeri ini telah mengorbankan banyak nyawa anak bangsanya.

Kini setelah usia kemerdekaan Indonesia hampir mencapai 63 tahun ternyata incaran terhadap penguasaan SDA di negeri ini tidak pernah berhenti. Bedanya, jika dulu melalui pendekatan militeristis kini pendekatannya lebih melalui lobby kepada para pemegang kebijakan di negeri ini.

Selain itu, kini pihak yang ingin menguasai SDA negeri ini bukan hanya sebatas negara asing melainkan korporasi-korporasi nasional dan multinasional. Salah satu korporasi yang getol menguasai SDA Indonesia itu adalah korporasi yang bergerak di industri tambang.

Berbagai kebijakan publik pun telah dikeluarkan untuk mendukung kebebasan industri tambang guna mengeruk SDA di Indonesia. Keberlanjutan kehidupan masyarakat yang tergantung kepada jasa lingkungan alam pun dikalahkan oleh mimpi melambungnya angka pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan oleh industri tambang.

Setelah tumbangnya kekuasaan Soeharto, setidaknya ada dua kebijakan publik yang dikeluarkan oleh dua orang presiden yang berbeda dengan substansinya sama, yaitu memberikan keleluasaan industri tambang untuk melakukan aktivitasnya tanpa harus takut dihantui oleh dosa-dosa ekologi dan sosial.

Presiden Megawati misalnya, saat berkuasa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2004 untuk menerobos UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang melarang kegiatan penambangan di areal hutan lindung.

Setelah Perppu itu muncul tidak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 12 Mei 2004, keluarlah Keputusan Presiden (Keppres) yang mengizinkan 13 perusahaan tambang (dari 22 perusahaan yang diajukan) untuk melanjutkan operasinya di kawasan hutan lindung.

Pemberian keleluasaan kepada industri tambang juga dilanjutkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) saat ini. Menjelang masa jabatannya berakhir, Presiden SBY justru secara tiba-tiba mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku di Departemen Kehutanan.

Anak emas

Peraturan tersebut semakin menegaskan posisi pemerintah yang menganakemaskan industri pertambangan. Betapa tidak, hanya dengan membayar Rp300 per meternya maka kawasan hutan lindung dapat segera berubah fungsi menjadi kawasan pertambangan. Rupanya predikat sebagai penghancur hutan alam tercepat pun tidak menyurutkan langkah pemerintah untuk berhenti memberikan izin aktivitas pertambangan di hutan lindung.

Bukan hanya berhenti sampai di situ. Upaya memanjakan industri tambang juga tampak dalam kasus semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Dalam kasus itu, pemerintah memosisikan diri tidak lebih hanya sebagai kasir dari PT Lapindo. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 Pasal 15 ayat 1 menyebutkan bahwa biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta yang terkena dampak lumpur Lapindo dibebankan pada pemerintah. Sementara itu, Lapindo hanya menanggung ganti rugi untuk warga yang ada di dalam peta.

Berdasarkan payung hukum itulah, dalam sidang kabinet terbatas yang diselenggarakan pada awal Maret 2008, pemerintah dengan murah hati menyanggupi mengucurkan uang sekitar Rp700 miliar dari APBN untuk menanggung dampak sosial dan lingkungan dari semburan lumpur Lapindo.

Pemerintah berdalih bahwa menurut keputasan pengadilan, luapan lumpur di Siodarjo adalah bencana alam bukan kesalahan Lapindo. Padahal keputusan pengadilan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap karena penggugatnya, dalam hal ini Walhi, masih mengajukan upaya banding.

Pertanyaannya kemudian tentu saja adalah mengapa pemerintah begitu getol untuk selalu membela industri tambang? Apakah hal itu disebabkan oleh kontribusi industri tambang bagi kesejahteraan rakyat begitu besar?

Untuk melihat seberapa besar kontribusi industri tambang dalam menyejahterakan masyarakat, kita dapat berkaca pada aktivitas pertambangan besar PT Freeport Indonesia di Papua. Aktivitas PT Freeport yang telah beroperasi selama 32 tahun di Papua dapat menunjukkan pada kita semua bahwa klaim industri tambang yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat ternyata tidak sepenuhnya benar.

Setidaknya terdapat 1.448 ton emas, belum lagi tembaga dan perak telah dikeruk dari bumi Papua oleh PT. Freeport. Aktivitas industri tambang itu dinilai telah mampu menempatkan product domestic bruto (PDB) Papua pada urutan ketiga.

Namun, ironisnya, nilai Index Pembangunan Manusia (IPM), yang menggambarkan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita jatuh ke angka yang paling dasar.

Selain itu, Papua justru memiliki jumlah penduduk miskin terbesar dengan nilai IPM di urutan ke-29 dari 33 provinsi di Indonesia. Bahkan, akumulasi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di atas 35% berada di kawasan konsesi PT Freeport (Kegagalan Industri Pertambangan Indonesia, Jatam, 2006).

Dengan melihat fakta di atas, pemerintah harus mulai mengambil langkah bijak atas pengelolan SDA di Indonesia. Keberlanjutan ekologi dan kehidupan masyarakat di sekitar kawasan pertambangan harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan yang terkait dengan pengelolaan SDA.

Kenyataan sejarah sudah membuktikan bahwa pemberian fasilitas yang berlebihan kepada industri tambang tidak menguntungkan rakyat secara keseluruhan, tetapi justru menjerumuskan negeri ini sekadar menjadi tumbal dari keserakahan industri tambang.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes