Selalu Ada Jalan, Bukan Jalur Pintas

Selalu Ada Jalan, Bukan Jalur Pintas

Ajakan provokatif dilontarkan pengusaha kawakan, Bob Sadino, kepada para mahasiswa yang memadati sebuah forum di Universitas Indonesia, pekan lalu. "Siapa saja yang ingin menjadi entrepreneur, keluarlah dari kampus setelah acara ini dan jangan kembali ke sini lagi," ujarnya.

Pengusaha yang sukses mengembangkan agrobisnis dan kini membangun apartemen itu adalah jebolan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Bob(75) sempat menjadi sopir taksi dan kuli bangunan sebelum mengawali karier kewirausahaan dengan berdagang telur.

Provokasi Bob "diimbangi" oleh Wahyu Saidi. Ia memperkenalkan diri sebagai "tukang bakmi" yang mendapat gelar Dr, Ir dan MSc dari Institut Teknologi Bandung dan dari Universitas Negeri Jakarta.

"Untuk memulai entrepreneurship, gelar kesarjanaan benar-benar tak berguna, justru sering negatif. Begitu mau menyebar brosur atau nggoreng makanan ngerasa diri sarjana. Itu bisa menjadi awal kegagalan," ujar Wahyu, yang membuka 410 gerai makanan di 30 kota dan 4 negara.

Menurut Wahyu, ilmu yang didapat dibangku kuliah baru berguna jika bisnis sudah berkembang. Misanya, terkait tuntutan penguasaan manajemen, mekanisme kontrol, dan distribusi. Namun, tidak bersekolah juga bukan berarti tidak bisa belajar menguasai ilmu-ilmu ini.

Dalam forum diskusi "Entrepreneurship Experiencing 2008", Bob dan Wahyu mambagi pengalaman mereka kepada para mahasiswa. Selain berdiskusi, dalam kegiatan dua hari itu juga diberikan simulasi bisnis. Para peserta dipinjami modal kerja dan produk, lalu diminta berinovasi untuk mengembalikan modal itu dan mendapat untung.

Para peserta juga difasilitasi magang di perusahaan kecli-menengah dan perusahaan besar selama sebulan. Pusat Pelayanan Mahasiswa FISIP UI yang menyelenggarakan kegiatan ini juga bekerja sama dengan Pelindo II untuk memberi kredit bag calon pelaku bisnis.

Kredit Rp 5 juta-Rp 100 juta dengan bunga 6 persen per tahun itu ditawarkan kepada peserta yang sudah memiliki usaha minimal setahun.

Jangan ditunda

Beragam pertanyaan dan unek-unek disampaikan para mahasiswa dalam diskusi itu. Indah, mahasiswa Diploma Pajak UI angkatan 2006, menceritakan, ia mulai menjajakan makanan kecil dikampus pada satu semester terakhir. Namun, ia masih berharap menjadi pegawai, sebelum merasa siap total berbisnis.

Tak sedikit pula yang mengeluh sulit meyakinkan orangtua untuk merestui anaknya berbisnis sendiri, tidak menjadi pegawai atau karyawan.

"kalau mau jadi entrepreneur, mulailah dari sekarang. Jangan berencana mulai setelah lulus kuliah. Apalagi, kalau anda berusaha lulus dengan indeks prestasi tinggi, besar kemungkinan muncul harapan dan iming-iming untuk jadi pegawai," ujar Wahyu.

Menurut Bob, sikap mental yang menjadi prasyarat utama menjadi pengusaha adalah tidak banyak berharap, menghilangkan rasa takut, dan mengubah pola pikir. "Harus punya kemampuan dan tekad kuat mengubah diri anda, dari bagaimanapun adanya sekarang. Tekad yang kuat itu tidak cukup kalau tak ada keberanian mengambil peluang. Namun, anda baru jadi entrepreneur kalau sudah terbukti tahan banting dan tidak cengeng," paparnya.

Mendengar pertanyaan, komentar, dan keluhan para mahasiswa, Bob menilai, sangat kuat keinginan para mahasiswa untuk menemukan metode paling cepat, atau jalan pintas, agar sukses berbisnis.

Padahal, pengalaman bisnis puluhan tahun mengajarkan, tidak ada jalan pintas untuk mendapat untung besar. "Kecuali anda jadi koruptor, maling, atau jualan sabu."

Pada usia senja, kesediaan Bob berkampanye mengajak mahasiswa menerjuni dunia kewirausahaan dilatari keprihatinan mendalam. Ia mengingatkan, jumlah pengusaha di negeri ini hanya 0,18 persen dari total penduduk. Padahal, di negeri sekecil Singapura, jumlah pengusahanya 7,2 persen dan perekonomiannya maju pesat. Sebaliknya, dengan segala sumber kekayaan alam Indonesia, penduduk negeri ini masih dijerat kemiskinan.

Para pengajar di sekolah formal turut andil "melemahkan" semangat kewirausahaan. "Saya pernah menyuruh anak saya yang masih SD berjualan mainan ke temen-temennya di sekolah. Eh, malah dilarang guru. Dari kecil, disekolah, anak-anak dididik untuk membeli bukan menjual," ujar Wahyu.

Kompas, kamis 13 nov 2008

Catatan kaki:

tidak semua orang punya bakat menjadi pengusaha / entrepreneur. Namun bisa digali bakat tersebut dilatih sejak dini. Dan jadilah diri sendiri untuk orang lain disekitar kita.

Komentar anda kami tunggu pada support@e-jogjaonline.com

[ Renungan ] Jangan heran

Dalam khasanah kebijaksanaan Jawa, ada petuah yang berkata demikian: Ojo gumunan, ojo kagetan, mulad sarira, hangrasa wani. Artinya:
Jangan mudah heran, jangan mudah terkejut, beranilah melihat dan mengoreksi diri apa adanya. Bagi orang Jawa, selain kesadaran diri,
kemampuan untuk menguasai diri sehingga tidak mudah dikejutkan dan dibuat terpesona adalah nilai-nilai diri yang unggul. Apabila mudah
bingung dan terpesona, orang mudah kehilangan orientasi diri. Itu sebabnya, ketenangan batin menjadi kunci.


http://inacraft-asia.blogspot.com
http://ina-media.blogspot.com

SULTAN MAJU CAPRES ; Tak Ada Perpecahan Dalam Kraton

KESIAPAN Sultan Hamengku Buwono X menjadi calon presiden dalam Pilpres 2009, di satu sisi cukup mengagetkan, di sisi lain menimbulkan banyak harapan. "Manteb, saya setuju Sultan akhirnya maju jadi calon presiden, ini yang saya tunggu-tunggu dari dulu," kata Suhadi (61) yang diiyakan Dalhar Maksum, keduanya warga Muntuk, Sanggrahan Dlinggo Bantul seusai mendengar Sultan HB X mengumumkan bahwa dirinya siap maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2009. Baik Suhadi maupun Dalhar Maksum, mengaku selama ini penasaran Sultan HB X itu maunya apa.

Dengan kejujuran Sultan HB X yang ingin maju, maka Suhadi dan Dalhar Maksum mengaku akan mendukung, apapun langkah Sultan HB X.

Mereka juga tidak akan merasa kecewa jika Raja mereka nantinya kalah bersaing dengan calon lain. "Sultan itu teladan, kami akan dukung juga lewat doa, yang penting Sultan HB X berani maju, masalah kalah menang kami tidak kecewa," kata Suhadi.

KGPH Hadiwinoto mengakui keputusan Sultan untuk maju menjadi presiden, memiliki tantangan yang berat. Tidak hanya memikirkan DIY semata, tetapi juga rakyat di seluruh Indonesia.

Ia sendiri sebagai salah satu keluarga Kraton, mendukung langkah yang diambil Sultan. Hadiwinoto membantah jika dalam keluarga Kraton terjadi perpecahan terkait dengan pelaksanaan Pisowanan Ageng ini.

Keluarga tetap satu, meski pandangan masing-masing berbeda. "Di keluarga khan ada yang menjadi aktivis Partai Golkar, Partai Demokrat dan lainnya," ujarnya. Sedangkan ekonom Christianto Wibisono yang ikut acara pisowanan tersebut mengungkapkan untuk mengatasi krisis finansial yang kian memburuk. Hal itu terjadi karena pemerintah gagal mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah trust (kepercayaan) . Jika memang tidak dapat diperoleh dari pemimpin saat ini, maka diharapkan pemimpin baru mendatang memperoleh trust. "Kepercayaan yang muncul dari pemimpin baru ini yang dibutuhkan," ujarnya. Menurutnya, dari segi trust, memang kehadiran Sultan sebagai pemimpin baru dibutuhkan. Tinggal nantinya, ia harus menggunakan sejumlah pakar. "Yang penting trust dulu. Kalau pintar tetapi tidak dipercaya, tidak ada gunanya," ujarnya.

Sementara itu di Jakarta, Ketua Depperpu DPP-PDI Perjuangan, HM Taufiq Kiemas mengaku terkejut dengan pencalonan Sultan menjadi presiden 2009. Ia, menilai, sosok Sultan sebagai pesaing yang berat bagi capres-capres lainnya. Paling kurang, demikian suami Megawati Soekarnoputri itu, figure Sultan akan menjadi pesaing berat bagi capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri. "Sultan calon yang berat. Di Golkar dia senior. Dia anak pejuang. Ayahnya nyerahin Yogyakarta ke Republik Indonesia bersama Bung Karno," katanya.

Menanggapi kesiapan Sultan maju sebagai capres, Sukardi Rinakit menyatakan, saat ini secara definitif partai yang sudah mencalonkan presiden baru Partai Demokrat yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono dan PDIP mengusung Megawati Soekarnoputri. Partai lainnya belum ada yang secara definitif mencalonkan presiden. "Jadi partai itu sangat dinamis dan segala kemungkinan bisa terjadi dan nantinya akan mengkristal. Parpol-parpol juga tidak mempunyai calon yang unggul betul untuk memenangkan Pilpres 2009. Jadi hipotesisnya, kalau seorang calon berkibar-kibar, maka partai akan mendekat," kata Sukardi Rinakit. Ibaratnya, lanjut Sukardi, soal cawapres itu seperti angin puting beliung. Semua biar berputar dulu, nanti yang ke atas itu yang terpilih. Nanti akan terjadi dengan sendirinya, apa yang disebut kristalisasi itu. "Kita tidak usah berdebat soal cawapres sekarang," katanya.

Sementara itu Lurah Desa Karangtengah Imogiri Bantul, Warsiyanto kepada KR mengungkapkan bahwa warga setempat yang mengikuti Pisowanan Ageng berjumlah tak kurang dari 700 orang. "Kami menggunakan 17 kendaraan bus serta beberapa mobil pribadi serta sepeda motor, bersamaan berangkat ke Alun-alun," ujarnya.

Meski seluruh pamong desa juga ikut serta dalam acara itu, namun Warsiyanto menegaskan bahwa pelayanan pemerintahan desa tetap lancar. Sebab, pelayanan kepada masyarakat dilakukan hingga pukul 12.00 dan memberlakukan petugas piket di kantor desa.

Sesuai komitmen warga Karangtengah, Warsiyanto mengungkapkan bahwa apapun keputusan Sri Sultan, warga akan mendukung penuh. Termasuk juga ketika Sri Sultan akan mencalonkan diri sebagai Presiden RI, maka rakyat Karangtengah dengan sepenuh hati akan memberikan dukungan. "Kedatangan warga dalam Pisowanan Ageng ini untuk mengetahui secara langsung apa yang dikersake Ngarsa Dalem. Dengan demikian warga akan merasa marem jika mendengar sendiri dari yang bersangkutan, " tambah Warsiyanto.

(San/R-1/Jon/ Can/Edy)- e
http://www.kr. co.id/web/ detail.php? sid=182081& actmenu=35

Duduk dimeja makan atau menjadi menunya?

Tue Jul 1, 2008 7:00 pm (PDT)

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Mungkin anda pernah mendengar ungkapan berikut ini: "If you are not in the table, you will be in the menu. "Jikaa nda tidak duduk dimeja makan, maka anda akan menjadi menunya. Tentu kita sepakat bahwa lebih baik duduk dimejamakan daripada menjadi menunya,bukan? Namun, namanya juga ungkapan; tentu bukan pesan harfiahnya yang perlu kita perhatikan. Melainkan`makna sesungguhnya' dari pesan itu. Jadi, apa sih sesungguhnya pesan yang ingin disampaikan ungkapan itu? Kira-kira demikian; didalam dunia yang penuh persaingan ini, kita tidak bisa tinggal diam menunggu seseorang melakukan sesuatu untuk kita. Kita sendirilah yang harus mengambil tanggungjawab itu. Karena, jika kita diam saja; maka kita ini tidak ubahnya seperti menu makanan yang terbaring pasrah di meja makan. Ingat nasib menu di meja makan? Tentu. Sebentar lagi dia akan dikunyah. Ditelan. Dan dua belas jam kemudian akan dibuang dalam bentuk yang anda tidak ingin melihatnya. Dengan kata lain, jika kita berdiam dirisaja; pihak lain akan mengambil manfaat yang bertebaran disekitar kita. Sementara mereka menjadi sejahtera; kita hanya bisa menjadi objeknya saja. Kita tidak ingin mengalami hal sedemikian, bukan?

Pagi itu saya bermaksud untuk menikmati sarapan.Saya memilih untuk menyantap soup berisi sayuran. Asyiknya, saya boleh memilih jenis sayuran apa yang hendak diramu dalam soup itu. Meletakkannya dalam mangkuk. Lalu menyerahkannya kepada sang koki yang dengan sigap akan memasakkan soup itu hanya dalam 3 meni tsaja. Pagi itu, gerakan saya agak terhenti, karena sayur favorit saya tidak ada. Lalu, saya bertanya; "Wah, taugenya tidak ada ya Pak?" Sikoki tersenyum lalu menjawab: "Maaf Pak, taugenya sedang kosong…." katanya. Tanpa sayuran yang banyak mengandung vitamin Ei tu, saya merasa soup itu kurangl engkap. Tapi, mau bagaimanalagi? Akhirnya saya menerima saja keadaan itu. Sesaat setelah saya menyerahkan mangkuk berisi sayuran pilihan itu, sang koki berkata. "Sebenarnya ada sih taugenya Pak…," katanya.Dahi saya mengerut. Sambil berbisik di dalam hati; `maksud elo….?" Tapi, "koki tersebut meneruskan "hanya tauge lokal, Pak.."katanya. "Tauge lokal bagaimana?" saya bertanya." Iya, Pak, lokal. Bukan tauge import."

Bisakah anda membayangkan itu? Seorang koki berkebangsaan Indonesia. Bekerja di hotel berbintang lima yang berlokasi di Indonesia. Melayani klien yang berbahasa Indonesia. Merasa menyesal untuk memberikan tauge hasil kerja keras petani Indonesia.

Bagi saya, kenyataan ini cukup memilukan. Karena, ini menunjukkan bahwa sikap inferioritas kita sudah sedemikian kronisnya sehingga untuk urusan barang senilai tauge pun kita tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup. Dengan ungkapan diatas itu, sesungguhnya saya ingin menekankan kepada diri saya sendiri tentang betapa pentingnya untuk bersikap proaktif, dan berani mengambil resiko untuk melakukan sesuatu bagi diri sendiri. Bukan berdiam diri saja sambil menyerah pasrah atas tindakan apa saja yang akan orang lain timpakan pada diri saya. Jadi, lebih baik duduk di meja makan daripada menjadi menu yang tersaji diatas meja makan itu.Tetapi, kejadian dipagi itu, menjadikan mata saya terbuka lebar, bahwa; bangsa ini sedang mengalami krisis yang begitu kritis dimana jangankan untuk duduk dimeja makan, bahkan untuk menjadi menu diatas meja makan itu pun ternyata tidak memiliki cukup nyali. Jujur saja. Saya sedih. Sedih sebagai anak bangsa. Sedih sebagai anak petani. Dan sedih sebagai anak manusia yang sangat menyukai tauge. Tetapi, kesedihan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, katanya bukan? Baiklah. Jika demikian, hikmah apa yang bisa kita bawa pulang? Mari kita camkan hal berikut ini: ”Jangankan untuk duduk dimeja makan, untuk menjadi menu yang tersajidi meja makan pun dibutuhkan perjuangan yang tidak ringan'. Sehingga, kita tidak mempunyai pilihan lain, selain menjadi yang terbaik dikelasnya. Jika kita ini adalah seorang tauge, maka menjadi tauge yang terbaik dibandingkan dengan para tauge lainnya adalah satu satunya kondisi yang bisa menjadikan kita terpilih sebagai tauge pertama yang diberi kesempatan untuk menghiasi meja makan. Sebab, jika kualitas kita tidak cukup bagus – apakah itu karena persepsi orang lain, atau memang kenyataannya kita ini tauge jelek; maka tidaklah ada gunanya kita berharap bahwa seseorang akan memilih tauge dari jenis diri kita untuk menjadi bagian dari masakan prestisius yang disajikan seorang koki restoran.

Jadi? Jadi, ini bukan saatnya bagi kita untuk bermanja-manja, ya? Bahkan, bekerja dan berusaha saja tidaklah cukup rupanya. Jaman dahulu kala; mungkin kita bisa bilang 'sudah saya kerjakan'. Tapi sekarang, itu tidak lagi cukup. Anda bekerja. Saya bekerja. Mereka bekerja. Siapa yang pekerjaannya lebih baik? Dialah yang mendapatkan kesempatan. Sedangkan yang lain? Maaf, anda harus mengantri dalam waiting list. Jika orang lain masih ada; maka anda tidak akan kami pakai. Jika orang lain selamanya ada, maka anda selamanya akan terbengkalai. Jika orang lain terus menerus lebih baik dari anda, maka anda akan terus menerus pula terlunta-lunta.

Oleh karena itu, sekarang kita mesti lebih sadar bahwa merasa berpuas diri itu bisa membahayakan. Ini sama sekali tidakberhubungan dengan keserakahan. Karena, konteks yang tengah kita bahas adalah tentang mengimbangi dunia yang penuh persaingan. Jika kompetitor kita lebih baik; mengapa kita masih merasa yakin bahwa seseorang masih akan mempertahankan kita? Jika ada pekerja yang lebih baik dari kita, mengapa kita masih mengira bahwa perusahaan akan terus mempekerjakan kita? Padahal, kita semua sudah tahu bahwa perusahaan manapun tidak ada yang mau berkompromi dengan pegawai yang tidak memiliki daya saing. Bahkan, kenyataannya sekalipun orang - orang itu berkualitas tinggi; tidak jarang kena pengurangan juga. Coba saja perhatikan; banyak perusahaan besar yang akhir-akhir ini mengurangi jumlah karyawannya. Dan banyak petunjuk yang membuktikan bahwa itu tidak semata-mata dilakukan karena karyawannya kurang berkualitas. Memang, ada diantara mereka yang kurang bagus; tetapi, pengurangan karyawan secara masal lebih banyak disebabkan karena perusahaan itu sudah tidak lagi sanggup untuk mempertahankan semuanya. Jadi, suka atau tidak, mereka melakukannya. Jika sudah demikian; apa yang bisa kita lakukan? Demo? Boleh saja. Tetapi, jikaperusahaan sudah menunjukan itikad baik dengan melakukan semua kewajibannya sesuai dengan undang-undang; apakah kita masih memiliki alasan untuk melawan?

Hey, ternyata masalahnya menjadi semakin kompleks. Bahkan, menjadi orang yang bagus pun tidak dijamin terus dipekerjakan. Jadi, apa gunanya punya kualifikasi bagus jika demikian? Bukankah lebih baik santai-santai saja? Toh, sudah kerja keraspun akhirnya terhempas juga. Sungguh sebuah pemikiran yang menggoda. Tapi hey, lihat. Berusaha untuk menjadikan diri kita memiliki daya saing itu masih jauh lebih menguntungkan. Jika perusahaan kita baik-baik saja; mungkin kita bisa mendapatkan bonus yang menggiurkan. Mungkin kita akan dipromosikan. Atau, setidaknya; kita bisa diandalkan. Jika perusahaan kita terpaksa harus melakukan penghematan; mungkin kita bisa dipilih untuk tetap dipertahankan. Jika itu pun tidak bisa, mungkin perusahaan lain akan menyukai kualifikasi yang kita miliki. Tidak rugi bukan? Kalau tidak ada yang mau juga? Mungkin apa yang kita bangun dan kembangkan selama ini bisa menjadi bekal bagi kita untuk hidup mandiri. Apa bedanya?

Jadi, bagaimana pun juga. Membangun kompetensi dan kualitas tinggi itu tetap lebih menguntungkan. Bukan hanya untuk meningkatkan daya saing kita. Atau berjaga-jaga jika situasi sulit menerpa kita. Tetapi yang lebih penting lagi adalah, kita bisa menunjukkan kepada sang pemilik jiwa bahwa; kita sudah mengoptimalkan semua yang diamanahkan- Nya kepada kita.

http://dkadarusman.blogspot.com/

Yang menjadi kita manusia seutuhnya

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Klaim paling mutakhir yang selalu kita dengungkan adalah; "Kita para
manusia adalah mahluk yang paling sempurna." Kita mengklaim diri
lebih cerdas dari keledai. Lebih beradab dari kadal. Dan lebih
berbudaya daripada buaya atau mahluk manapun sesama penghuni dunia.
Tetapi, apa sih yang sebenarnya menjadikan kita melampaui mahluk-
mahluk lain itu? Secara fisik, kita tidak lebih kuat dari gorila.
Kecepatan kita berlari juga kalah jauh dengan rusa. Diadu dengan
harimau? Wah, sudah pasti kita yang kalah. Lalu, apa yang menjadi
faktor keunggulan kita? Kita bilang; karena kita mempunyai akal.
Dengan berbekal akal itu kita bisa melampaui mahluk lain. Pesawat
terbang menjadikan kemampuan burung tidak terlampau istimewa. Mobil
menyebabkan macan tutul kalah cepat. Buldozer bukan tandingan badak.
Pertanyaannya kemudian adalah; apakah keunggulan itu semata-mata
hanya berhubungan dengan produk-produk akal belaka?

Salah satu film thriller favorit saya adalah Hellboy. Film itu
bercerita tentang mahluk dari neraka yang menyerupai manusia tetapi
berkulit merah menyala, lengkap dengan tanduk kokoh dan ekornya
yang panjang. Kekuatan fisik yang dimiliki Hellboy nyaris tidak
tertandingi, sehingga boleh dikatakan bahwa dia merangkum semua
kekuatan yang dimiliki oleh mahluk hidup yang ada dialam semesta.
Dengan semua kekuatan yang dimiliki itu kita tidak serta merta
mengakui mahluk seperti Hellboy mahluk yang sempurna. Karena belum
tentu dia berakal. Tapi tunggu dulu, Hellboy ternyata adalah mahluk
yang sangat cerdas. Itu menunjukkan bahwa dia punya akal. Bahkan
akalnya mengungguli kebanyakan `manusia modern'. Meskipun begitu,
tetap saja kita tidak mau mengakui dia sebagai mahluk yang sempurna.
Sebab, sekalipun dia lebih kokoh dari binatang dan memiliki akal;
namun bentuknya yang aneh itu menjadikan dia tidak layak disebut
sebagai manusia. Dia berekor. Dan bertanduk. Terlebih lagi wajahnya
tidak tampan. Dengan kata lain, kita bersikeras bahwa untuk menjadi
mahluk sempurna sesuatu harus benar-benar `menyerupai' manusia.

Dengan predikatnya sebagai pemegang kunci pintu neraka, Hellboy
memiliki segala syarat mutlak untuk menjadikannya mahluk jahat.
Sehingga selain ayah angkatnya, hanya ada beberapa orang saja yang
mengatahui betapa baik sesungguhnya dia. Betapa dia peduli pada
orang lain. Bersedia mengorbankan diri untuk menyelamatkan hidup
orang lain. Dan banyak hal lagi. Pendek kata, dibalik penampilan
anehnya itu; tersembunyi begitu banyak kebaikan tersembunyi. Sampai-
sampai agen rahasia John T. Myers berucap; "What makes man, a
man?". `Apa sih sesungguhnya yang menjadikan seseorang menjelma
menjadi manusia yang seutuhnya?' Mengapa begitu banyak manusia yang
memiliki fisik begitu sempurna, namun tidak mempunyai perangai
terpuji layaknya mahluk yang sempurna seperti klaimnya? Sedangkan,
Hellboy memiliki begitu banyak kebaikan hati dibalik penampilan
janggalnya.

Saya jadi teringat guru mengaji dikampung yang bercerita tentang
Sang Nabi. Beliau yang mulia berkata; "Aku diutus Tuhan untuk
menyempurnakan Akhlak ummat manusia". Apakah sesungguhnya akhlak
itu? Akhlak mempunyai tiga komponen utama. Pertama, Perilaku atau
tindakan. Literatur modern menyebutnya behavior. Kedua, sikap atau
yang sering disebut sebagai attitude. Mudah untuk menilai perilaku,
karena muncul dalam apa yang kita lakukan. Sedangkan sikap, lebih
kepada daya dorong dibalik tindakan atau perilaku kita. Kita
biasanya menyebut seseorang itu baik, jika tindakan perilakunya
baik, dan sikapnya baik. Namun, menurut Sang Nabi, itu belum menjadi
akhlak sebelum dilengkapi dengan komponen ketiga yaitu, kebersihan
hati. Sebab, kebersihan hatilah yang menjadi ukuran sesungguhnya
atas nilai dari segala sesuatu yang kita lakukan. Sebab, hati itu
merupakan pabrik niat.

Seseorang boleh saja bertutur kata baik. Berperilaku baik. Bersikap
baik. Namun, jika hatinya buruk, maka semua kebaikan itu tidak lebih
dari sekedar kedok belaka. Oleh karenanya, begitu banyak orang
berbuat kebajikan. Menyumbang ini dan itu. Menebar derma diseluruh
penjuru negeri. Namun, nilai sesungguhnya dari semua kebaikan itu
sangat bergantung kepada niatnya. Saya boleh melakukan kebaikan
kepada anda. Namun, jika dibalik kebaikan yang saya lakukan itu
tersimpan niat buruk didalam hati saya; maka semuanya tidak menjadi
kebaikan. Maka, benarlah kata Sang Nabi bahwa; "Sesungguhnya amal
setiap manusia itu sangat bergantung kepada niatnya". Dan niat
itulah yang menentukan penilaian Tuhan kepada amalan itu. Lalu,
sebenarnya niat itu apa? Mungkin sulit bagi kita untuk
mendefinisikannya secara akurat. Namun, dia sering menjelma
berupa 'bisikan hati'. Jadi, untuk mengetahui niat kita, cukuplah
mendengar apa yang dibisikkan oleh hati kita. Jika bisikan itu baik,
maka baiklah niat kita. Dan baik pulalah amal perbuatan kita.
Artinya, behavior dan attitude itu bukan sekedar topeng, melainkan
kesejatian aktualisasi diri yang sesungguhnya.

Hellboy memiliki itu semua. Sementara banyak manusia disekitarnya
yang tidak mempunyai unsur ketiga dari ahlak yang diajarkan Sang
Nabi itu. Padahal, beliau menekankan betapa pentingnya niat itu.
Jangankan niat yang benar-benar buruk. Sekedar bisikan hati untuk
mencari pujian saja sudah mengurangi nilai dari tindakan kita.
Misalnya, kita memberikan derma. Namun, hati kita berbisik; "supaya
mendapatkan pujian dari orang". Beliau menyebut yang seperti ini
sebagai 'ria'. Kemudian menggambarkan ria itu sebagai sesuatu yang
sangat merusak nilai kebajikan seseorang. "Seperti api yang memakan
kayu bakar," katanya. Artinya, lenyap sudah setiap nilai kebajikan
yang dilakukan; jika didalam hati kita ada bisikan berupa ria.
Apalagi jika suara yang terdengar dari dalam hati kita itu berupa
niat-niat buruk. Sudah pasti kita tidak akan sampai kepada
kesempurnaan yang kita agung-agungkan itu. Karena akal, bukanlah
satu-satunya prasyarat menuju keutuhan diri kita sebagai manusia.
Sebaliknya, kebersihan hati memberikan peluang bagi kita untuk
menjadi manusia yang sempurna. Sebab, "Apa yang ada didalam hati
kitalah the one that makes man like us a man".

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangka darusman. com/

Catatan Kaki:
Lakukanlah segala sesuatu dengan sepenuh hati, sehingga engkau bisa
sampai kepada puncak prestasi. Dan jika engkau melakukannya dengan
hati yang penuh lagi bersih, maka seluruh pencapaianmu akan
dimasukkan kedalam laporan keuangan Tuhan sebagai laba bersih.

Ketika Indonesia jadi tumbal industri tambang

Harian Bisnis Indonesia/Senin, 17/03/2008

Ketika Indonesia jadi tumbal industri tambang

Oleh Firdaus Cahyadi

Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia

Tuhan telah menganugerahi Indonesia sebagai negeri yang sangat kaya akan sumber daya alam (SDA), baik di darat maupun di laut. Untuk itulah, tak heran bila sejak dahulu kekayaan SDA itu menjadi rebutan negara lain. Beberapa negara pun tercatat pernah menjajah negeri ini, bahkan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaannya, negeri ini telah mengorbankan banyak nyawa anak bangsanya.

Kini setelah usia kemerdekaan Indonesia hampir mencapai 63 tahun ternyata incaran terhadap penguasaan SDA di negeri ini tidak pernah berhenti. Bedanya, jika dulu melalui pendekatan militeristis kini pendekatannya lebih melalui lobby kepada para pemegang kebijakan di negeri ini.

Selain itu, kini pihak yang ingin menguasai SDA negeri ini bukan hanya sebatas negara asing melainkan korporasi-korporasi nasional dan multinasional. Salah satu korporasi yang getol menguasai SDA Indonesia itu adalah korporasi yang bergerak di industri tambang.

Berbagai kebijakan publik pun telah dikeluarkan untuk mendukung kebebasan industri tambang guna mengeruk SDA di Indonesia. Keberlanjutan kehidupan masyarakat yang tergantung kepada jasa lingkungan alam pun dikalahkan oleh mimpi melambungnya angka pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan oleh industri tambang.

Setelah tumbangnya kekuasaan Soeharto, setidaknya ada dua kebijakan publik yang dikeluarkan oleh dua orang presiden yang berbeda dengan substansinya sama, yaitu memberikan keleluasaan industri tambang untuk melakukan aktivitasnya tanpa harus takut dihantui oleh dosa-dosa ekologi dan sosial.

Presiden Megawati misalnya, saat berkuasa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2004 untuk menerobos UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang melarang kegiatan penambangan di areal hutan lindung.

Setelah Perppu itu muncul tidak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 12 Mei 2004, keluarlah Keputusan Presiden (Keppres) yang mengizinkan 13 perusahaan tambang (dari 22 perusahaan yang diajukan) untuk melanjutkan operasinya di kawasan hutan lindung.

Pemberian keleluasaan kepada industri tambang juga dilanjutkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) saat ini. Menjelang masa jabatannya berakhir, Presiden SBY justru secara tiba-tiba mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku di Departemen Kehutanan.

Anak emas

Peraturan tersebut semakin menegaskan posisi pemerintah yang menganakemaskan industri pertambangan. Betapa tidak, hanya dengan membayar Rp300 per meternya maka kawasan hutan lindung dapat segera berubah fungsi menjadi kawasan pertambangan. Rupanya predikat sebagai penghancur hutan alam tercepat pun tidak menyurutkan langkah pemerintah untuk berhenti memberikan izin aktivitas pertambangan di hutan lindung.

Bukan hanya berhenti sampai di situ. Upaya memanjakan industri tambang juga tampak dalam kasus semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Dalam kasus itu, pemerintah memosisikan diri tidak lebih hanya sebagai kasir dari PT Lapindo. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 Pasal 15 ayat 1 menyebutkan bahwa biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta yang terkena dampak lumpur Lapindo dibebankan pada pemerintah. Sementara itu, Lapindo hanya menanggung ganti rugi untuk warga yang ada di dalam peta.

Berdasarkan payung hukum itulah, dalam sidang kabinet terbatas yang diselenggarakan pada awal Maret 2008, pemerintah dengan murah hati menyanggupi mengucurkan uang sekitar Rp700 miliar dari APBN untuk menanggung dampak sosial dan lingkungan dari semburan lumpur Lapindo.

Pemerintah berdalih bahwa menurut keputasan pengadilan, luapan lumpur di Siodarjo adalah bencana alam bukan kesalahan Lapindo. Padahal keputusan pengadilan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap karena penggugatnya, dalam hal ini Walhi, masih mengajukan upaya banding.

Pertanyaannya kemudian tentu saja adalah mengapa pemerintah begitu getol untuk selalu membela industri tambang? Apakah hal itu disebabkan oleh kontribusi industri tambang bagi kesejahteraan rakyat begitu besar?

Untuk melihat seberapa besar kontribusi industri tambang dalam menyejahterakan masyarakat, kita dapat berkaca pada aktivitas pertambangan besar PT Freeport Indonesia di Papua. Aktivitas PT Freeport yang telah beroperasi selama 32 tahun di Papua dapat menunjukkan pada kita semua bahwa klaim industri tambang yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat ternyata tidak sepenuhnya benar.

Setidaknya terdapat 1.448 ton emas, belum lagi tembaga dan perak telah dikeruk dari bumi Papua oleh PT. Freeport. Aktivitas industri tambang itu dinilai telah mampu menempatkan product domestic bruto (PDB) Papua pada urutan ketiga.

Namun, ironisnya, nilai Index Pembangunan Manusia (IPM), yang menggambarkan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita jatuh ke angka yang paling dasar.

Selain itu, Papua justru memiliki jumlah penduduk miskin terbesar dengan nilai IPM di urutan ke-29 dari 33 provinsi di Indonesia. Bahkan, akumulasi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di atas 35% berada di kawasan konsesi PT Freeport (Kegagalan Industri Pertambangan Indonesia, Jatam, 2006).

Dengan melihat fakta di atas, pemerintah harus mulai mengambil langkah bijak atas pengelolan SDA di Indonesia. Keberlanjutan ekologi dan kehidupan masyarakat di sekitar kawasan pertambangan harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan yang terkait dengan pengelolaan SDA.

Kenyataan sejarah sudah membuktikan bahwa pemberian fasilitas yang berlebihan kepada industri tambang tidak menguntungkan rakyat secara keseluruhan, tetapi justru menjerumuskan negeri ini sekadar menjadi tumbal dari keserakahan industri tambang.

Menkes bikin gerah AS dan WHO......???

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1).



Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia .


Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah!

Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It's Time for the World to Change.

Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakuakn negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung.

"Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita," ujar Fadilah kepada Pers Network di Jakarta, Kamis (21/2).

Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi.

Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO.

"Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon. Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport , dan lain-lain. Coba kalau tidak ada kita sudah kaya," ujarnya.

Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku.


"Saat ini banyak yang meminta jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya sedang mencari bicarakan dengan penerbitan besar," katanya.


Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua.

"Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan. Virus yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush," ujar menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini.

Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari peredaran. "Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual," katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran.

Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu.

Mengubah Kebijakan Apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50 tahun.

Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005.

Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.

"Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi, " tulis The Economist.

The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika, edisi pekan lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam.

Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.

Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.

Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong?

Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam . Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus.

Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusaha an besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung.

Mereka mengambilnya dari Vietnam , negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi. Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza

Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.

Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC.

Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS.

Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS.

Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima . Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia?

Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los

Alamos , memujinya. Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia , yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara. Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.

Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO di akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.


Source : http://www.tribun- timur.com/ view.php? id=65 <http://www.tribun-timur.com/view.php?id=65146>146

Aku Bungah Neng Yogya....

Kedaulatan Rakyat
03/03/2008 08:24:25

TEPUK tangan riuh dan seruan kekaguman mengiringi gerakan rancak tari
Bali yang dibawakan Giovanni Asmo (19). Bahkan penonton di Ruang Sidang
Utama Rektorat UNY, yang sebagian besar mahasiswa asing Program
Darmasiswa RI Short Course 2008, sampai berdiri dari tempat duduknya
untuk menyaksikan gerak ritmis nan lincah penarinya. Tari Panji Semirang
yang cukup sulit dibawakan secara luwes oleh mahasiswa asing FBS UNY
asal Suriname itu. "Aku bungah iso neng Yogya..(saya sangat senang bisa
datang ke Yogya)," tegas Gio, demikian sapaan akrabnya, dalam Bahasa
Jawa Ngoko, saat ditanya kesan-kesannya tentang program Darmasiswa. Gio
sangat fasih berbahasa Jawa Ngoko, karena menggunakannya untuk
berkomunikasi sehari-hari dengan keluarganya. Sedangkan bahasa resmi
memakai bahasa Belanda.

Gio yang mengaku leluhurnya berasal dari Solo, Jateng itu, belajar tari
Panji Semirang hampir 2 bulan di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNY. Dia
sangat suka pada seni tari Indonesia, khususnya tari Jawa dan Bali.
Padahal studi majornya di Suriname bidang ekonomi. Dibimbing Dra EMG
Lestantun MK, anak muda periang ini sudah menguasai beberapa tari Jawa
Klasik maupun kontemporer. Hebatnya, Gio sudah mampu menari Srimpi dan
Bedoyo yang tingkat kesulitannya tinggi. Selama mengikuti program Short
Course Darmasiswa ini, Gio berniat mempelajari sebanyak mungkin seni
tari Indonesia. Sebab dia berkeinginan menjadi praktisi seni tarian dari
tanah leluhurnya. "Neng kene akeh tarian-tarian anyar. Neng Suriname
mung ono tarian lawas. Buku-bukune yo isih asli jaman biyen. Wis
kuna..danine bosen..(Di sini banyak tarian (Jawa) modern. Neng suriname
cuma ada tarian lama. Buku-bukunya juga masih asli dari zaman dulu.
Sudah kuno..bosan jadinya," ungkap Giovanni.

Sementara, terpisah peserta Darmasiswa lain juga memiliki kesan
tersendiri tenang program ini. Jarungnat Jansdamrongnil asal Thailand,
senang dapat bertemu dengan teman-teman dari negara lain. Juga ingin
dapat melihat bangunan yang mengesankan, Borobudur, karena penganut
Budha. "Saya juga ingin belajar bahasa Indonesia dan mendapatkan sesuatu
yang baru dan belum pernah saya lihat. Saya berharap ini pengalaman yang
menyenangkan, " harapnya. Park Jung Hoon, asal Korea juga berharap dapat
menjalin hubungan dari berbagai perwakilan negara-negara. Khususnya,
ingin meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Indonesia. Kepala Kantor
Kerja sama Humas dan Protokoler (KKHP) UNY, Sugirin PhD, menjelaskan,
program Darmasiswa 2008 ini diikuti 51 mahasiswa asing dari 27 negara,
diantaranya, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Mexico, Rumania,
Slovakia, Thailand, Filipina, Korea, Cina, Iran, Bangladesh, Aljazair,
Mali, Somalia, Nigeria dan sebagainya. (Benny K)

8 Kejanggalan Lumpur Lapindo

From: "WALHI KALBAR" <walhi@ptk.centrin.net.id>

------------------------------------------------------

Minggu, 24 Februari 2008
Hasil Kajian Komnas HAM

Sumber :
http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=152459

Jakarta,-  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan delapan
kejanggalan di balik peristiwa semburan lumpur Lapindo yang menyebabkan
ribuan warga telantar itu. Lembaga negara tersebut akan membentuk tim khusus
untuk mendalami hasil kajiannya yang penuh dengan keganjilan.

Hasil pemantauan Komnas HAM sangat berbeda dengan hasil TP2LS (Tim Pemantau
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) DPR. Bila TP2LS menyebut sebagai fenomena
alam, Komnas HAM justru melihat ada beberapa persoalan dan keganjilan yang
menyebabkan semburan lumpur hampir dua tahun itu.

"Status (fenomena alam) tidak membuat kasus ini selesai. Tim menemukan
kejanggalan-kejanggalan yang harus diungkap untuk kepentingan melindungi
hak-hak masyarakat yang menjadi korban,'' kata Ketua Tim Pemantau Kasus
Lapindo Komnas HAM Syafruddin Ngulma Simeulue di Jakarta kemarin (23/2).

Hal-hal janggal tersebut telah terjadi sebelum muncul semburan pada 29 Mei
2006. Penetapan lokasi eksplorasi sumur Banjarpanji, misalnya, dinilai tidak
sesuai dengan apa yang ada dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sidoarjo.


Berdasarkan RTRW, kawasan tersebut diproyeksikan sebagai kawasan budi daya.
Peruntukkannya adalah perumahan, pertanian, dan pabrik. "Mengapa kemudian
ada konversi menjadi kawasan eksplorasi migas?" kata Syafruddin penuh tanya.


Selain itu, lanjut dia, sejak perubahan fungsi kawasan tersebut, telah
terjadi pelanggaran hak atas informasi terhadap warga. Sebab, tidak ada
informasi yang diberikan kepada warga berkaitan dengan adanya sumur-sumur
gas tersebut.

Kejanggalan berlanjut setelah muncul semburan lumpur. Menurut Syafruddin,
Komnas HAM melihat tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menurunkan
risiko. Salah satu di antaranya terindikasi dari tidak diungkapnya data
teknis, seperti laporan harian pengeboran. "Kami juga menemukan penanganan
yang terlambat hingga beberapa bulan. Padahal, teknologi itu ada dan hingga
sekarang belum dipakai," kata mantan direktur Walhi Jatim itu.

Syafruddin menyesalkan mobilisasi ribuan tentara dengan senjata lengkap yang
diterjunkan di sekitar lokasi semburan. Dia meminta ada klarifikasi dari
pihak berwenang atas keputusan tersebut. ''Sejauh ini tidak ada informasi
tujuannya untuk apa," ujarnya.

Hingga kini, pemerintah belum memberikan jawaban tentang masalah itu. Begitu
juga, DPR yang belum melihat masalah tersebut sebagai hal yang harus
dikritisi. DPR sudah menurunkan tim pemantau. Namun, dalam sidang paripurna,
hasil tim pemantau justru membuat pecah para wakil rakyat itu. Sebagai
setuju atas rekomendasi sebagai fenomena alam, yang lain ingin interpelasi.
Dalam rapat konsultasi antara DPR dan pimpinan fraksi pada Jumat (22/02),
diputuskan untuk memperpanjang masa kerja TP2LS.

Komnas HAM, kata Syafruddin, tak terpengaruh oleh putusan DPR yang
memperpanjang masa kerja TP2LS. Komnas akan memusatkan perhatian terhadap
sejumlah kejanggalan yang berimplikasi pada terganggunya hak-hak kehidupan
masyarakat setempat.

Hal lain yang akan diselidiki Komnas HAM adalah dibiarkannya pipa Pertamina
di utara pusat semburan. Pipa yang berada di bawah luberan lumpur tersebut
akhirnya meledak dan menewaskan 12 orang. Selain itu, kata Syafruddin,
pihaknya memandang Perpres 14/2007 lebih menguntungkan Lapindo, yakni dengan
menghilangkan kewajiban membayar ganti rugi dan memberi hak untuk membeli
tanah. Komnas HAM meminta ada peraturan lain yang lebih menjamin terpenuhi
dan terpulihkannya hak korban lumpur.

Komnas yang diketuai Ifdhal Kasim itu juga memandang, kelanjutan proses
hukum yang melibatkan Lapindo, baik secara pidana maupun perdata, sebagai
sesuatu hal yang misterius. Secara pidana, melalui Kepolisian Daerah Jatim,
perkara tersebut terkesan lamban. "Itu sangat menyakiti perasaan para
korban," kata Syafruddin yang mantan wartawan itu. Namun, Kapolda Jatim
Irjen Pol Herman Sumawiredja kepada wartawan menegaskan bahwa pihaknya tetap
terus mengusut kasus semburan lumpur yang diduga karena kelalaian pihak
Lapindo.

Demikian halnya dengan proses secara perdata yang diajukan dua penggugat
berbeda. Pertama, gugatan yang diajukan Tim Advokasi Korban Kemanusiaan
Lumpur Lapindo yang diwakili YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua, gugatan yang
diajukan Walhi dan disidangkan di PN Jakarta Selatan. Semua gugatan tersebut
memunculkan pihak Lapindo sebagai pemenang.

Yang terbaru, kata Syafruddin, adalah wacana politik yang menyebutkan bahwa
semburan lumpur Lapindo sebagai fenomena alam. Padahal, sudah ada pendapat
dari pakar yang menyebutkan bahwa semburan tersebut sebagai human error dan
tidak ada yang berkaitan dengan gempa di Jogjakarta pada 27 Mei 2006.
"Pendapat-pendapat pakar itu juga disampaikan di persidangan," katanya.

Tim investigasi akan dibentuk Komnas HAM, kata anggota Subkomisi Mediasi
Komnas HAM itu, dalam Rapat Paripurna Komnas HAM pada 26-27 Februari
mendatang. Selain komisioner Komnas HAM, tim akan melibatkan staf Komnas HAM
dan unsur masyarakat, seperti ahli dan akademisi.

"Tentunya yang memiliki kemampuan investigasi sesuai dengan kebutuhan tim,"
jelasnya. Dia lantas menyebutkan bahwa jumlah anggota tidak lebih dari 15
orang. Masa kerja tim adalah tiga bulan dan dapat diperpanjang hingga tiga
bulan berikutnya.

Meski akan menguak misteri di balik kejanggalan-kejanggalan tersebut,
langkah Komnas HAM tidak untuk memojokkan PT Lapindo Brantas Inc. Namun, itu
lebih kepada upaya pemenuhan HAM. "Bagaimana caranya, hak-hak dasar
masyarakat tidak dicabut negara dan korporasi," kata Syafruddin. Sebagai
lembaga negara, Komnas HAM memiliki internal kontrol terhadap pemerintah.
"Ini yang kami optimalkan," imbuhnya.

Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh menambahkan, Komnas HAM akan memberikan
kewenangan lebih kepada tim investigasi. Di antaranya dengan kewenangan
politik. "Karena kesimpulannya nanti bukan teknis, tapi politik atau
kebijakan," katanya. Selain itu, kewenangan untuk memberikan rekomendasi
projustisia kepada aparat penegak hukum.



Reaksi Lapindo

Menanggapi temuan tersebut, Vice President Lapindo Brantas Inc Yuniwati
Teryana menyatakan, apa yang disampaikan Komnas HAM wajib mendapatkan
pembuktian lebih lengkap. Menurut Yuniawati, Lapindo selama satu tahun lebih
telah melakukan tanggung jawabnya memenuhi apa yang dituntut dalam Perpres
14 Tahun 2007. "Harus dibuktikan," ujar Yuni -sapaan Yuniawati- saat
dihubungi Jawa Pos kemarin malam (23/2).

Terkait peruntukan lokasi yang dianggap sebagai lokasi budi daya, Yuni
menyatakan bahwa Lapindo sejak pendirian sudah mengantongi izin lokasi dan
izin peruntukan. Soal kegiatan pengeboran di wilayah kerja pertambangan
(WKP) Blok Brantas, menurut Yuni, semua itu sudah disetujui Pemerintah.
"Kami tegaskan, semua proses perizinan sudah kami lakukan. Kami tidak
menyalahi prosedur," tutur Yuni.

Dia juga sekaligus menjawab soal tudingan tidak adanya upaya penutupan
semburan secara dini, yang berimbas pada meledaknya pipa Pertamina beberapa
waktu lalu. Menurut Yuni, Komnas HAM patut mencermati sikap masyarakat dan
juga LSM yang berdemo saat Lapindo berkeinginan membuang lumpur di sepanjang
Kali Porong dan juga ke Ngoro, Mojokerto.

"Sejak semburan muncul pada 29 Mei, kami sudah berupaya. Namun, kami tidak
didukung. Malah didemo," ujarnya. Namun, meski kini sudah terpasang, upaya
tersebut boleh dibilang terlambat. Sebab, baru mendapatkan izin setelah
Timnas Lapindo terbentuk. "Yang juga harus diketahui bahwa semburan itu
berada 200 m di luar pengeboran kami. Jadi, sebenarnya tidak ada hubungan
dengan kami," imbuhnya.

Yuni menambahkan, Lapindo Brantas Inc hingga kini telah mengeluarkan biaya
Rp 2,83 triliun demi melakukan kewajiban sebagaimana diwajibkan dalam
Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Upaya tersebut seharusnya lebih dicermati bahwa
selama ini Lapindo telah bersikap kooperatif untuk membantu warga terdampak
lumpur Lapindo. " Yang kami lakukan adalah bentuk kepedulian, bukan
kesalahan yang hingga kini belum terbukti secara hukum," ujar Yuni
mengingatkan. (fal/bay)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes